Perbankan di Asia sedang berada dalam situasi yang cukup menantang dengan era suku bunga tinggi yang tampaknya belum akan berakhir. Hingga pertengahan tahun 2024, kinerja bank-bank besar di wilayah ini masih harus bergulat dengan pendapatan bunga yang tidak maksimal serta perlambatan dalam penyaluran kredit. Pada pekan depan, beberapa bank besar di Asia dijadwalkan untuk mengumumkan kinerja semester pertama mereka, dan prediksinya tidak begitu cerah.
Dampak Suku Bunga Tinggi di Hong Kong
Bank-bank di Hong Kong, seperti HSBC dan Standard Chartered, diperkirakan akan terus menghadapi tekanan akibat suku bunga Hibor yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan pada kuartal kedua. Menurut analisis dari Morgan Stanley, margin bunga bersih kedua bank ini mungkin tetap tertekan.
Baca juga: Jenis Investasi Bagi Pemula dan Hal yang Harus Diperhatikan
Georges Elhedery, CEO HSBC, diperkirakan akan menghadapi tantangan dalam meningkatkan pendapatan karena situasi suku bunga ini. Salah satu strategi yang mungkin ditempuh adalah peningkatan upaya penghematan biaya. Meskipun demikian, ada harapan bahwa persaingan simpanan yang mereda dan suku bunga Hibor yang relatif stabil bisa mendukung margin HSBC. Fokus utama Elhedery adalah pada strategi peningkatan pendapatan yang mungkin mulai terlihat pada akhir tahun 2024.
Sementara itu, Standard Chartered diprediksi akan mencapai target pendapatan bunga bersih yang lebih tinggi pada tahun 2024, berkat lingkungan suku bunga yang lebih menguntungkan. Bank ini diperkirakan akan memiliki margin yang stabil dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, dan pendapatan bunga bersihnya mungkin meningkat hingga 28%. Selain itu, Standard Chartered juga kemungkinan akan mengumumkan pembelian kembali saham senilai US$ 1 miliar, berdasarkan analisis dari Jefferies dan Morgan Stanley.
Prospek Bank-bank Singapura
Di Singapura, bank-bank seperti Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) dan United Overseas Bank Ltd (UOB) baru akan merasakan peningkatan kredit secara keseluruhan pada paruh kedua tahun ini. Meski begitu, permintaan bisnis yang lemah kemungkinan akan berlanjut untuk beberapa bulan ke depan.
Bank sentral Singapura tetap mempertahankan kebijakan moneter yang ketat, meskipun mata uang lokal yang kuat membantu meredam tekanan harga. Laba bersih UOB pada kuartal kedua mungkin tertekan akibat pertumbuhan kredit hipotek yang lebih rendah, ditambah dengan tindakan pendinginan properti di Singapura yang memengaruhi margin mereka. Pertumbuhan pendapatan OCBC juga kemungkinan akan tertahan karena pertumbuhan pinjaman yang rendah, meskipun ada potensi penguatan pendapatan berbasis biaya yang didorong oleh bisnis kekayaan mereka.
Kondisi Perbankan di Indonesia
Di Indonesia, bank-bank besar juga merasakan tekanan dari suku bunga tinggi. Kondisi ini diperparah oleh isu pemburukan kualitas kredit yang mendorong bank untuk membentuk pencadangan yang lebih besar. Sebagai contoh, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), yang merupakan bank dengan laba terbesar di Indonesia, mencatat laba sebesar Rp 29,7 triliun. Namun, bank ini mengalami penurunan Net Interest Margin (NIM) sebesar 40 basis poin menjadi 6,41%.
Baca juga: Kelebihan Trading Forex dan Resiko yang Menyebabkan Kerugian
Bank BRI yang terkenal dengan segmen UMKM juga mengalami tekanan pada kualitas kredit di segmen tersebut, sehingga mereka harus meningkatkan biaya pencadangan hingga 52,2% YoY atau mencapai Rp 21,35 triliun.
Di sisi lain, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masih mampu mencatat kenaikan NIM sebesar 10 basis poin menjadi 5,7% pada semester pertama 2024. Akibatnya, laba mereka meningkat 11,1% YoY menjadi Rp 26,9 triliun.
Tantangan dan Harapan di Tengah Tekanan
Dari Hong Kong hingga Indonesia, bank-bank besar di Asia terus bergulat dengan tantangan suku bunga tinggi. Meski situasi ini memengaruhi margin dan pendapatan mereka, setiap bank memiliki strategi dan harapan yang berbeda untuk menghadapinya. Beberapa berharap pada stabilitas dan strategi penghematan, sementara yang lain menaruh harapan pada peningkatan pendapatan dan pasar yang lebih menguntungkan di paruh kedua tahun 2024. Perjalanan ini tentu akan penuh tantangan, namun juga membuka peluang untuk pertumbuhan dan inovasi di sektor perbankan Asia.